Fantasi Liar Di Dalam Keluarga Kami 3 - Mbak Weni Sangat Menikmati

x
0


Aku masih ingat benar, ketika kontol ngacengku menerobos liang memek Mbak Weni, rasanya tidak terlalu sulit. Berarti Mbak Weni tidak perawan lagi? Entahlah. Yang jelas aku mulai merasakan enaknya liang memek Mbak Weni ketika kontolku mulai bermaju mundur di dalamnya. Ada rasa geli - geli enak ketika kontolku bergesekan dengan dinding liang memek Mbak Weni yang terasa bergerinjal - gerinjal empuk, hangat dan licin.

Mbak Weni pun tampak enjoy dengan entotanku. Ia mendekap pinggangku erat - erat sambil berbisik, “Kontolmu gede banget Bon. Enak sekali… ayo entot terus… jangan mandeg - mandeg.”

Mbak Weni bertubuh tinggi montok. Dengan bokong dan sepasang toket yang gede. Dan aku sangat menikmati kelebihan - kelebihan kakak sulungku itu.

Mbak Weni sendiri yang mengajariku bagaimana caranya mengemut pentil toket gedenya, menjilati lehernya dan mencium bibirnya. Dalam tempo singkat saja aku mulai mahir mengentot liang memek Mbak Weni yang luar biasa enaknya ini.

Mbak Weni pun mulai berdesah - desah dan merintih - rintih perlahan. “Bona… aku jadi semakin sayang padamu Bon… entot terus Bon… entoooot teruuussss… oooooh… kontolmu memang luar biasa enaknya Bon…”

“Tempik Mbak juga enak sekali… luar biasa enaknya Mbak… uuuugggghhh… uuuuughhhh…” sahutku dengan nafas berdengus - dengus, sambil menikmati geli - geli enaknya gesekan antara kontolku dengan dinding liang memek kakak sulungku.

Itu adalah pertama kalinya aku merasakan nikmatnya mengentot cewek. Kebetulan saja ceweknya adalah kakak sulungku sendiri yang tubuhnya bahenol itu.

Tapi pengalaman pertama ini membuatku sama sekali tidak bisa mengontrol diri. Sehingga hanya belasan menit aku mengayun kontolku, lalu aku seperti merasakan sesuatu yang membuatku panik. “Mbak… ka… kayaknya aku ma… mau jrot nih,” ucapku tergagap.

“Ha?! Ooooh… kamu baru pertama kalinya merasakan ngentot memek cewek ya. Ayo lepasin di dalam tempikku aja Bon…” sahut Mbak Weni dengan sorot kecewa.

Maka kurasakan semua itu. Sesuatu yang paling nikmat di dunia ini. Bahwa moncong kontolku mengecrot - ngecrotkan air mani di dalam liang tempik kakak sulungku. Crot… croooot… crooooooot… crooooot… croooooooootttt… croooott… crooooooottttttt…!

Aku mendengus - dengus di atas perut Mbak Weni, lalu terkapar dan terkulai lemah.

Mbak Weni menciumi bibirku. Lalu bertanya, “Enak gak memekku Bon?”

“Enak banget. Tapi cuma bisa sebentar ya Mbak.”

“Biasa kalau pertama kali sih gak bisa bertahan lama - lama. Jangan dicabut dulu kontolnya ya. Mungkin sebentar lagi juga ngaceng kembali.”

“Iya Mbak. Aku kok jadi semakin sayang sama Mbak.”

“Sama. Aku juga makin sayang sama kamu Bon. Tapi ingat… kamu harus bisa merahasiakan semuanya ini ya. Jangan sampai Rina dan Lidya tau. Apalagi Papa dan Mama, sama sekali jangan sampai mencium gelagat semuanya ini.”

“Iya Mbak. Dijamin soal itu sih. Aku pasti akan tutup mulut. Tapi… barusan aku ngecrot di dalam tempik Mbak, apa gak bakal bikin Mbak hamil?”

“Nggak mungkin. Aku kan sudah disuntik kabe. Berapa puluh kali juga kamu ngecrot di dalam tempikku, takkan membuatku hamil.”

“Ogitu ya. Keliatannya Mbak sudah pengalaman ya.”

“Iya. Tapi awas… jangan bilang - bilang sama orang lain. Ini rahasia terbesarku.”

“Iya Mbak, aku bakal tutup mulut. Soal itu kan masalah yang paling pribadi buat Mbak.”

“Hey Bon… kontolmu udah mulai ngaceng lagi nih,” kata Mbak Weni sambil menggerak - gerakkan bokongnya sedemikian rupa, sehingga kontolku terasa seperti sedang disedot - sedot dan digesek - gesek oleh liang memek kakak sulungku.

Mbak Weni pun memberi instruksi, “Entotin pelan - pelan dulu… jangan sampai lepas… iyaaaa… iyaaaaa… naaaaah… mulai ngaceng bener kan?”

“Iya Mbak… jadi enak lagi Mbak… uuugggh… uuuuggghhh…”

“Ayo entot terus… sekarang sih pasti kamu bisa lama ngentot aku.”

O senangnya hatiku, bisa mengentot lagi. Bahkan kali ini benar seperti yang dikatakan oleh Mbak Weni. Aku bisa bertahan lama di atas perut kakak sulungku yang baik hati itu.

Keringatku pun sampai bercucuran, karena lebih dari sejam aku mengayun kontolku, namun gejala - gejala mau ngecrot sepertinya masih jauh.

Malam itu bukan cuma dua kali aku mengentot kakak sulungku. Tengah malam, Mbak Weni seperti yang bernafsu lagi. Dengan binalnya kakak sulungku itu menyelomoti kontolku sampai ngaceng lagi. Saat itu ia memilih untuk bermain di atas. Ia memasukkan kontolku ke dalam liang tempiknya. Kemudian ia yang aktif membesot - besot kontolku, dengan menaik - turunkan bokongnya di atas tubuhku.

Setelah aku ngecrot untuk yang ketiga kalinya, kami tertidur nyenyak sambil berpelukan, dalam keadaan sama - sama telanjang bulat.

Tapi menjelang subuh, kurasakan sesuatu yang bergerak - gerak di batang kemaluanku. Ketika aku membuka mata, ternyata Mbak Weni sedang asyik menyelomoti kontolku, sambil mengurut - urut bagian yang tidak terkulum olehnya.

Karuan saja kontolku jadi ngaceng lagi.

Kemudian Mbak Weni menungging sambil mengajakku bersetubuh lagi, kali ini dalam posisi anjing - anjingan (doggy).

Aku menurut saja. Sambil berlutut dan menghadap ke arah pantat Mbak Weni, kumasukkan kontolku ke dalam liang memek Mbak Weni. Kemudian kuayun lagi kontolku dalam posisi doggy ini.

Ternyata dalam posisi bagaimana pun gesekan antara kontolku dengan dinding liang memek kakak sulungku, sama saja enaknya.

Meski masih subuh, keringatku mulai bercucuran, karena cukup lama aku mengentot kakak sulungku dalam posisi doggy ini.

“K ok malah ngelamun? Katanya mau nganter mama ke warung gudeg itu,” kata Mama membuyarkan terawangan masa laluku. Ternyata Mama sudah selesai berdandan. Mengenakan celana corduroy biru tua dan baju kaus hitam yang tadi tak jadi dikenakannya itu.

“Iya Mam. Aku kan sudah pakai baju. Tinggal berangkat aja,” sahutklu sambil berdiri.

Kemudian kami melangkah menuju warung nasi gudeg itu. Warung yang letaknya tidak jauh dari hotel tempat kami cek in.

Yang paling kusukai di warung ini, gudegnya selalu dengan ayam kampung. Selain itu, di warung ini selalu tersedia emping besar, sebesar piring dan dilipat dua.

“Pernah belasan tahun tinggal di Sleman, belum puas juga makan gudeg Jogja Mam?” ucapku ketika kami mulai menyantap nasi gudeg di warung kecil itu.

“Justru setelah jauh dari Jogja, mama jadi kangen sama gudegnya. Di Subang kan susah nyari gudeg yang seperti ini. Ada juga yang jual gudeg, tapi rasanya tidak seenak di Jogja ini.”

Aku tercenung. Bukan memikirkan ucapan Mama. Tapi teringat lagi betapa seringnya aku masuk ke dalam kamar Mbak Weni setelah Papa, Mama, Mbak Rina dan Mbak Lidya berada di Jogja kembali.

Sampai pada suatu hari, aku baru tiba di depan rumah kos Jono, di Bintaran Wetan. Tiba - tiba pandanganku tertumbuk ke seorang cewek berperawakan tinggi montok. Cewek itu mau masuk ke dalam sebuah sedan bersama seorang lelaki tua yang tidak kukenal. Tapi ceweknya jelas sekali… dia adalah Mbak Weni…

Aku tercengang. Mau memanggil kakak sulungku itu. Tapi Mbak Weni kebetulan melihat kehadiranku juga di depan rumah kos Jono itu. Lalu Mbak Weni mengedipkan sebelah matanya padaku sambil meletakkan telunjuk di depan bibirnya.

Itu isyarat agar aku jangan ribut atau jangan mengluarkan suara. Aku pun terdiam. Lalu kulihat Mbak Weni masuk ke dalam sedan hitam itu. Kemudian sedan hitam itu bergerak menjauh sampai akhirnya hilang dari pandanganku.

Ingin sekali aku memacu motorku untuk mengejar sedan hitam itu. Karena aku ingin tahu siapa lelaki tua yang membawa Mbak Weni itu. Tapi bukankah tadi Mbak Weni mengedipkan sebelah matanya sambil memberi isyarat yang kuartikan menyuruhku diam dan jangan mendekatinya?

Hal itu membuatku gelisah. Sehingga niat untuk menjumpai Jono, sahabatku pun kubatalkan. Aku pun pulang kembali ke Sleman. Dengan pikiran tak menentu.

Apakah Mbak Weni sudah menjadi cewek gak bener dan biasa dibawa oleh bapak - bapak yang ingin bersenang - senang dengan daun muda?

Keesokan harinya barulah aku mengetahui siapa lelaki tua yang membawa Mbak Weni dengan sedan hitamnya itu.

Mbak Weni sengaja mengajakku nongkrong di café. Kemudian memberikan penjelasan padaku,”

“Dia itu calon suamiku Bon. Mungkin bulan depan juga aku akan menikah dengannya, kemudian dibawa pindah ke Jakarta,” ucap Mbak Weni yang sangat mengejutkanku itu.

“Maaf Mbak… lelaki setua itu akan menjadi suami Mbak?” tanyaku bernada complain.

“Why not? Di zaman sekarang menikah dengan lelaki tua sudah tidak aneh lagi. Wanita tua kawin dengan cowok yang masih sangat muda pun banyak,” sahut Mbak Weni sambil tersenyum, “Yang penting masa depanku terjamin.”

Aku tidak berani mendebat ucapan kakak sulungku itu. Tapi aku mulai punya prediksi, bahwa selama ini Mbak Weni selalu banyak uang, tentu berasal dari lelaki tua yang katanya calon suaminya itu.

“Kamu jangan sedih ya Bon, “Mbak Weni menepuk - nepuk punggung tanganku yang berada di atas meja café. “Setelah aku dibawa pindah ke Jakarta pun, kita tetap bisa ketemuan. Mungkin aku yang ke Jogja atau kamu yang ke Jakarta. Terus ketemuan di hotel. Atau langsung datang ke rumahku. Kamu kan adikku.

Wajar kalau adik mendatangi rumah kakaknya kan? Kita tetap bisa melakukannya, karena calon suamiku itu poligami. Aku cuma akan dijadikan istri keempatnya. Jadi dalam sebulan paling juga cuma seminggu dia bersamaku. Tiga minggu bersama ketiga istri lainnya yang dijatah seminggu untuk seorang istrinya.

Aku tidak tertarik pada tawaran itu. Aku malah bertanya soal lain, “Lalu kuliah Mbak nanti gimana?”

“Dilanjutkan di Jakarta kan bisa. Tapi aku kan cewek Bon. Berhenti kuliah juga gak apa - apa. Beda dengan kamu… lanjutkan terus kuliahmu ya Bon. Nanti setelah aku menikah, aku akan selalu transfer duit untuk menutupi kekurangan - kekuranganmu.”

Sebulan kemudian Mbak Weni benar - benar menikah dengan lelaki tua yang lalu kukenal sebagai Bramantio itu. Papa dan Mama pun tidak memperlihatkan sikap menolak. Mereka bahkan tampak merestui pernikahan Mbak Weni dengan lelaki tua yang lalu harus kubiasakan memanggilnya Mas Bram itu.

Janji Mbak Weni pun dipenuhi. Tiap bulan dia mentransfer dana yang cukup besar ke rekening tabunganku. Padahal aku lebih merindukan Mbak Weni. Bukan transferan duitnya.

Ya… aku jadi merasa kehilangan kakak sulungku itu. Kehilangan kakak yang murah hati. Kehilangan penyaluran manakala nafsu birahiku datang menggoda.

“Melamun lagi,” ucap Mama sambil menepuk bahuku setelah selesai makan. Terawanganku pun buyar seketika.

“Bukan melamun… tapi sedang memikirkan skripsi yang sedang kubuat Mam,” sahutku berbohong.

“Baguslah. Kamu harus menyelesaikan kuliahmu. Jangan seperti Weni yang putus kuliah di tengah jalan,” sahut Mama.

Entah kenapa, dengan Mama aku tak mau membahas masalah Mbak Weni. Karena aku memiliki segudang kenangan dengan Mbak Weni, yang tetap kurahasiakan kepada siapa pun.

Bahkan transferan dari Mbak Weni yang selalu kuterima setiap bulan itu pun selalu kurahasiakan. Karena Mbak Weni ingin agar hal itu dirahasiakan.

Setelah berada di dalam kamar hotel lagi, aku bertanya, “Bukannya mau ke Malioboro Mam?”

“Besok lagi aja ah. Sekarang mama pengen kangen - kangenan sama kamu aja. Mumpung mama masih di sini,” sahut Mama sambil melepaskan celana corduroy biru tuanya berikut celana dalamnya sekalian. Lalu Mama menatapku sambil mengusap - usap memeknya, dengan senyum yang menggoda.

Aku terbengong - bengong. Nafsuku pun bergejolak lagi setelah melihat “tantangan” di depan mataku itu. “Iya deh… aku juga udah kepengen lagi Mam…” ucapku sambil melepaskan celana jeans dan celana dalamku.

Lalu aku naik ke atas bed, sementara Mama sedang melepaskan baju kaus hitam dan beha putih bersihnya. Aku pun melepaskan baju kausku, sehingga kami jadi sama - sama telanjang bulat lagi.

“Jilatin dulu memek mama Sayang,” kata Mama sambil mengusap - usap memeknya yang masih “terkatup”, belum kelihatan bagian yang berwarna pinknya.

Aku mengangguk, lalu tengkurap di antara kedua paha Mama yang sudah mengangkang.

Kalau dibandingkan dengan memek Mbak Weni, memang memek Mama lebih menggiurkan lagi. Bahkan kalau dirasa - rasakan, memek Mama sedikit lebih enak daripada memek Mbak Weni. Bedanya cuma satu, Mbak Weni jauh lebih muda daripada Mama.

Yang sangat menyenangkan, Mama senantiasa mengabulkan keinginanku. Apa pun yang ingin kulakukan, selalu disetujuinya. Karena aku pun sadar bahwa Mama paling menyayangiku, sebagai satu - satunya anak cowok Mama.

Dan kini wajahku sudah berhadapoan dengan kemaluan Mama yang ingin dijilati itu.

Maka kungangakan lagi labia mayora Mama dengan kedua tanganku. Sehingga bagian yang berwarna pink itu terbuka lagi dengan jelasnya.

Aku pun mulai menjilati bagian yang berwarna pink itu dengan lahapnya.

“Iyaaaaa… ooooooh enaknya… iyaaaaa… enak sekali Booon… itilnya jangan lupa ya Sayaaaang… jilatin itilnya juga… aaaa… aaaaaaaah…” desah Mama sambil semakin merentangkan jarak di antara sepasang pahanya.

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)
To Top