Rahasia Buku Harian Rina ( Bagian 3 )

x
0

Dengan sejujurnya aku mengakui, bahwa gesekan demi gesekan yang terjadi antara liang kewanitaanku dengan tongkat kejantanan Walter, terasa nikmat. Nikmat sekali.

Inilah perselingkuhan pertamaku di belakang Papie (karena pada saat itu aku belum ngapa - ngapain dengan Boy).

Semuanya ini tidak kukehendaki awalnya. Kalau aku berniat selingkuh, mungkin sejak tadi siang pun akan kurenggut Ivan ke dalam dekapanku. Tapi aku tidak melakukan apa - apa dengan Ivan, kecuali memegang penisnya saja.

Begitu juga dengan Walter ini. Bermimpi pun tidak pernah, lalu tahu - tahu aku sudah dihimpit dan dientot oleh mantu tiriku ini.

Dan sebagai seorang wanita yang banyak kelemahannya ini, aku tidak bisa menolak lagi. Karena Walter keburu menggerayangi kemaluanku, keburu menjilati memekku pula. Mana mungkin aku punya kekuatan untuk menolak kehadiran penisnya di dalam liang kewanitaanku?

Akhirnya aku bertekad untuk menikmatinya saja, karena sudah kepalangan basah. Itulah sebabnya aku berusaha membuat Walter puas sepuas - puasnya. Bahkan aku seolah ingin bersaing dengan Cinthia yang lebih tua dariku itu. Ingin agar Walter menganggapku jauh lebih memuaskan daripada istrinya.

Karena itu goyangan pinggulku makin lama makin binal. Goyangan ini selain untuk memuaskan Walter, juga untuk memuasi diriku sendiri. Karena dengan goyangan ini, kelentitku terus - terusan bergesekan dengan badan penis Walter. Dan ini luar biasa nikmatnya…!

Akibatnya, aku mulai merasa berada di detik - detik krusial. Detik - detik menuju puncak orgasmeku.

Karena itu aku terengah - engah mendesis, “Sssss… Wal… Walter… Walterrrrr… aku… aku udah mau orgasme… Walter… Walter… Walter… !”

Walter pun menjawab terengah, “Iiii… iya Mam… aku… aku juga… udahg… ma… mau ejakulasi… ki… kita barengin ya Maaaaaaaam…”

Lalu kami seperti sepasang manusia yang tengah kerasukan. Walter meremas sepasang toketku dengan kencangnya. Tapi aku tidak kesakitan, karena liang memekku sedang menggeliat dan mengedut - ngedutg di puncak orgasmeku.

Aku pun meremas - remas rfambut pirang Walter sampai acak - acakan.

Pada detik - detik inilah moncong penis Walter memuntahkan lendir hangatnya berulang - ulang… crooooottttttttt… crot… crot… crooootttttt… crolttttt… crooootttt… crooootttt…!

Gila… banyak sekali air mani yang dimuntahkan oleh moncong penis Walter ini…! Terasa sampai membludak dari mulut memekku, mengalir ke arah anusku.

Walter terkapar lunglai di atas perutku. Tapi beberapa detik kemjudian ia mencabut penis lemasnya dari liang memekku.

Aku pun cepat bangun, karena merasa liang memekku kebanjiran air mani Walter. Bergegas aku masuk ke dalam kamar mandi, untuk membersihkan memekku dengan air hangat shower, sekalian menyabuninya sampai bersih.

Lalu aku mengambil sebutir pil kontrasepsi dari kotak obat - obatan yang tergantung di dinding kamar mandi. Kuambil pula segelas plastik air mineral, untuk bantu menelan pil itu.

Ya, aku harus waspada. jangan sampai aku hamil yang gak jelas. Apalagi Waltewr kebule - bulean begitu. Bagaimana kalau aku hamil lalu melahirkan anak yang bule seperti Walter?

Jangan sampai terjadi hal seperti itu. Hal yang akan merugikan diriku sendiri itu.

Walter mengajakku menengok istrinya di rumah sakit bersalin, sebagai wakil dari Papie.

Aku pun setuju. Sedikitnya untuk mengurangi perasaan bersalahku karena telah membiarkan suami Cinthia menyetubuhiku tadi.

Cinthia tampak senang sekali melihat kedatanganku bersama suaminya. Pada waktu cipika - cipiki dengan Cinthia yang perutnya masih buncit itu, kudengar Cinthia berbisik, “Doakan aku lancar melahirkannya ya Mam.”

“Iya… mamie ikut mendoakanmu Cin. Semoga kelahirannya berjalan lancar. Mau melahirkan biasa atau mau dicesar?” tanyaku.

“Mau melahirkan secara normal aja Mam. Mungkin aku akan melahirkan nanti malam atau besok pagi.”

Aku cuma mengangguk - angguk perlahan.

“Nanti Mamie menyusul ya. Biar aku punya adik dari Mamie,” kata Cinthia.

“Kayaknya masih jauh Cin. Papie kan sudah tua. Mungkin bibitnya juga sudah jarang.”

“Sabar ya Mam. Lagian Mamie kan sudah punya anak lima orang. Aku salah satu anak Mamie,” ucap Cinthia dilanjutkan ciumannya di pipiku.

Aku cuma tersenyum sambil mengangguk.

Begitu baiknya sikap Cinthia padaku, membuatku malu sendiri.

O, seandainya dia tahu bahwa aku baru disetubuhi oleh suaminya, apakah dia masih tetap akan sebaik itu sikapnya padaku?

Ada perasaan bersalah yang sangat mendalam di hatiku. Karena aku merasa telah mencuri suami Cinthia, walau pun bukan atas kehendakku pada awalnya.

Seharusnya Walter pun punya perasaan bersalah seperti yang kurasakan ini. Tapi Walter sangat pandai menyembunyikan segala yang pernah terjadi denganku tadi. Walter bersikap biasa - biasa saja. Bahkan kelihatan lebih mesra sikapnya kepada Cinthia.

Keesokan harinya adalah hari Sabtu. Ivan sudah kukasih libur dua hari. Hari Sabtu dan hari Minggu.

Sedangkan aku pun istirahat saja di rumah, tidak menikmati week end di luar rumah.

Hari Senin… pagi - pagi sekali Ivan sudah datang. Lalu duduk di pos satpam, sambil ngobrol dengan teman - temannya. Satpam yang bertugas menjaga rumahku ada enam orang. Tapi dibagi menjadi dua shift, masing - masing shift terdiri dari tiga orang.

Pintu kamarku ada dua. Yang satu menuju ke ruang keluarga, yang satunya lagi menuju ke teras depan. Karena itu aku bisa melihat Ivan ketika dia baru datang tadi.

Aku baru selesai mandi dan baru mau berdandan, karena ingin menengok rumah lama yang sudah ditinggalkan itu.

Ketika masih mengenakan kimono, aku mengambil kunci mobilku dan keluar lewat pintu yang menuju teras depan itu.

Ivan yang sedang duduk di pos satpam, melihat kemunculanku di teras depan. Lalu kulambaikan tanganku ke arahnya. Ivan pun bergegas menghampiriku.

“Kita mau keluar. Panasin dulu mobilnya Van,” kataku sambil menyerahkan kunci mobilku.

“Siap Bu Boss,” sahut Ivan yang bersikap formal di rumahku. Mungkin agar tidak ada hal yang mencurigakan teman - temannya semasa masih jadi satpam.

Aku pun kembali ke dalam kamarku. Dan berdandan serapi mungkin.

Pagi itu aku mengenakan spanrok abu - abu dengan blouse putih yang ditutupi lagi oleh blazer berwarna abu- abu, sama dengan spanrok yang kukenakan.

“Kenapa tadi kamu bengong ketika melihatku sudah dandan begini?” tanyaku yang sudah duduk di samping Ivan yang tengah mengemudikan mobilku.

“Pakaian itu… membuat Pampam jadi cantik plus sesuatu,” sahut Ivan tidak formal -formalan lagi padaku.

“Plusnya apa?” tanyaku.

“Mmm… maaf ya… cantik plus seksi abis.”

Aku cuma tersenyum. Ivan bilang aku ini seksi abis. Apalagi kalau dia tahu bahwa saat ini aku sengaja tidak mengenakan celana dalam… pasti tambah lagi komentarnya…!

“Ohya… kamu udah ketemu mamaku lagi?” tanyaku tiba - tiba berbelok ke topik Mama.

“Belum. Kan kalau mau ketemu Tante Rini harus dibarengi putrinya.”

“Kamu udah tau nama mamaku segala ya?”

“Iya. Kemaren dia nelepon. Dia nanya apa gak kangen sama Tante Rini? Nah saaat itulah saya tau siapa nama beliau.”

“Kamu kalau kangen sama mamaku, datang aja sendiri. Asalkan jangan di jam kerja aja. Kemaren kamu kan dapet libur dua hari. Kenapa gak pergi aja sendiri ke sana?”

“Belum dapet ijin dari Pampam sih gak berani. Kalau sudah dikasih ijin gini, mungkin besok atau lusa akan dateng ke sana malem - malem.”

Aku tidak menyahut. Karena lampu merah di depan menyala. Sehingga Ivan harus menghentikan mobilku. Pada saat itulah aku diam - diam menarik spanrokku ke atas. Lalu kutarik tangan kiri Ivan sambil berkata, “Tempo hari aku sempat megang kontolmu. Sekarang giliranmu…”

Telapak tangan Ivan kutempelkan di permukaan memekku yang tidak bercelana dalam ini.

Ivan terkejut setelah menyadari bahwa tangannya sedang menempel di permukaan kemaluanku. “Pam… oooo… oooooh… Pampam… ti… tidak pake celana dalem?”

“Iya… kalau gak pake celana dalem gini lebih seksi apa malah menakutkan?”

“Iii… iiini sih super seksiiiiii… oooo… oooooohhhhhhhh… “jemari Ivan mengelus - elus mulut memekku. Tapi lampu merah sudah berganti jadi lampu kuning, lalu lampu hijau pun menyala.

“Ayo jalan lagi. Sudah hijau tuh,” kataku sambil menjauhkan tangan Ivan dari kemaluanku. Spanrokku juga kubetulkan lagi.

Ivan segera menjalankan lagi mobilku. Sambil bergumam, “Apakah ini sebagai lampu hijau juga bagi saya Pam?”

“Lampu hijau apa? Itu tadi lampu hijaunya udah ditinggalin,” sahutku sambil diam - diam mengeluarkan celana dalam dari tas kecilku. Lalu kutempelkan celana dalamku ke mulut Ivan.

Ivan agak terkejut. Tapi lalu diambilnya celana dalamku sambil tetap nyetir mobilku dengan kecepatan rendah. Lalu diciuminya celana dalamku sambil bergumam, “Harum… harum sekali…”

Aku malah menunjuk ke mulut jalan yang hampir terlewati, “Pelan - pelan… itu di depan ada belokan ke kiri… !” kataku.

“Jadi belok ke kiri, ke jalan yang kecil itu?” tanya Ivan.

“Nggak kecil - kecil amat kok. Dua truk berpapasan juga bisa lewat,” sahutku.

Ivan membelokkan mobilku ke kiri.

“Setelah warteg itu ada gang ke kiri lagi. Tapi mobil gak bisa masuk. Tinggalin aja mobilnya,” kataku.

“Di sini aman? Maksudnya aman untuk ninggalin mobil di jalan?”

“Alaaa… mobilku dicuri sih ada asuransi,” sahutku, “Biar pihak asuransi yang nyariin malingnya. Santai aja. Eh kembaliin celana dalamku. Masa diciumin terus?”

Ivan mengembalikan celana dalamku, lalu menghentikan mobilku di dekat mulut gang yang menuju ke rumah lama itu.

“Ayo turun Van,” kataku sambil membuka pintu di sampingku. Dan turun dari mobilku, setelah memasukkan celana dalamku ke dalam tas kecilku.

Sambil berjalan di gang menuju rumah lama itu, kukeluarkan kunci - kunci rumah lamaku. Lalu melangkah ke depan rumahku dengan perasaan terharu. Terharu melihat rumah yang jadi tempat tinggalku sejak bayi hingga dewasa.

Lalu kubuka kunci pintu depan dan masuk ke dalam rumah lama yang bersejarah ini.

Tadinya kupikir rumah lama ini kotor dan penuh debu. Tapi ternyata bersih sekali. semua furniture kucolek - colek dengan ujung jari, untuk melihat banyak debu atau tidak. Ternyata memang tidak ada debu di rumah tua ini.

Mungkin Mama suka membersihkan rumah ini, karena Mama memegang kunci cadangan untuk pintu - pintu di rumah tua tapi bersejarah ini.

Ivan duduk di sofa yang berhadapan dengan sofaku. Dan aku jahil lagi. Sengaja aku duduk dengan kedua lutut direntangkan lebar lebar. Sehingga Ivan melotot nyaris tak berkedip… memandang ke arah kemaluanku yang sengaja dipamerkan padanya ini.

“Kenapa melototin memek terus? Pengen jilatin ya?” tanyaku sambil menahan tawaku.

“Kalau diijinkan sih mau banget. Mau jilatin memek Pampam,” sahut Ivan dengan sikap malu - malu.

“Ya udah. Jilatin deh sepuasmu. Tapi aku hanya ngasih ijin menjilati doang ya. Gak pake yang lain - lain.”

“Megang pake tangan gak apa - apa kan?”

“Boleh. Mau masukin hidung juga boleh. Yang penting jangan masukin kontol. Itu aja.”

Ivan menghampiri sofaku. Seperti sudah mau jongkok di depanku. Tapi aku berkata, “Eiiittt… nanti dulu… kunciin dulu dong pintu itu. ntarf kalau ada tamu nyelonong masuk, bisa heboh se-RW… !”

Ivan nyengir. Lalu bergegas menuju pintu depan dan memutar anak kuncinya… klik…! Lalu menghampiriku lagi.

“Van… aku pengen memekku dijilatin, tapi pengen sambil megang kontolmu. Gimana caranya ya?”

Ivan tmapak berpikir. Lalu menjawab, “Kalau begitu, mungkin harus pake posisi 69. Jadi saya jilatin memek Pampam, sementgara Pampam juga bisa mainin kontol saya. Gimana?”

“Kalau begitu mendingan di kamarfku aja yok. Biar bisa sama - sama telanjang,” ucapku sambil berdiri.

Ivan mengangguk, “Siap Bu Boss.”

Setelah sama - sama berada di dalam kamarku, Ivabn duluan melepaskan segala yang melekat di tubuhnya.

Aku pun melepaskan blazer, blouse, spanrok dan behaku. Lalu berdiri sambil bertolak pinggang, “Gimana kalau sudah telanjang gini? Masih seksi?” tanyaku sambil memperhatikan penis Ivan yang tampaknya sudah ngaceng.

“Sangat menggiurkan Pam. Makanya kontol saya langsung ngaceng gini nih,” sahut Ivan sambil memegang penisnya yang memang sudah ngaceng itu.

Lalu Ivan melompat ke atas bed yang sudah berbulan - bulan tidak kutiduri itu.

“Kamu mau di bawah?” tanyaku ketika melihat Ivan sudah celentang di atas bedku.

“Terserah… saya sih ikut keinginan Bu Boss aja.”

“Kamu bukan budakku, Van. Makanya jangan pakai istilah saya, karena saya itu berasal dari kata sahaya, yang artinya budak belian.”

“Rasa kurang sopan aja kalau pake istilah aku. Karena biar bagaimana pun Pampam ini kan istri Big Boss.”

Aku pura - pura tak mendengar ucapan Ivan itu. “Kamu yang di bawah ya. Supaya aku tidak menanggung berat badanmu,” kataku sambil merayap ke atas perut Ivan. Lalu memegang penisnya yang panjang gede ini. Membuatku membanding - bandingkan antara penis Ivan dengan penis Walter. Rasanya sama persis…

Tapi yang jelas, kalau melihat penis sepanjang dan segede ini, aku suka tergiur… ingin menyelomotinya sepuasku.

Tapi kalau nonton video dewasa, aku paling tergiur pada adegan facesitting. Maka aku pun berubah pikiran. Aku menaiki perut Ivan, lalju naik lagi sehingga kedua kakiku berada di kan - kiri leher Ivan, sementara kemaluanku berada persis di atas mulut Ivan.

“Ayo facesitting dulu van… “pintaku sambil mendekatkan memekku ke mulutnya…

Teman lama yang sudah menjadi anak buahku mulai menjilati kemaluanku dengan lahapnya. Sementara aku setengah duduk di lehernya, tapi tidak terlalu bertumpu, agar dia jangan sesak nafas.

Gila… begitu lahap dan gencarnya Ivan menjilati kemaluanku, sehingga aku mulai terpejam - pejam saking nikmatnya. Bahkan hidung Ivan pun berkali - kali “nyasar” untuk menggesek - gesek kelentitku.

Hanya belasan menit memekku dijilati oleh Ivan dalam posisi facesitting ini. Lalu aku memutar badanku jadi menghadap ke arah batang kemaluan Ivan. Bahkan akhirnya aku merapatkan badanku ke badan Ivan dalam posisi 69. Dalam posisi sungsang. Ivan berhadapan dengan kemaluanku yang berada di atas mjulutnya, sementara wajahku berada di atas batang kemaluan Ivan yang sangat ngaceng dan sedang kugenggam dengan sepenuh gairahku ini.

Ivan bukan hanya menjilati mulut vaginaku, lidahnya menyapu - nyapu ke sekitar kemaluanku dengan gencarnya. Bahkan terkadang ujung lidahnya menjilati mulut anusku pula. Oooo… ini luar biasa nikmatnya.

Sehingga akhirnya aku menelentang sambil berkata sambikl mengusap - usap permukaan vaginaku, “Lanjutkan Van… terserah kamu mau diapain memekku ini. Tapi kontolmu jangan dimasukin ke memekku ya…”

Tampaknya Ivan tahu apa yang harus dilakukannya. Ia menelungkup di antara kedua pahaku yang sudah direntangkan selebar mungkin. Mulutnya beraksi lagi. Menjilati kemaluanku dengan lahapnya. Jemari tangan kanannya pun mulai diselundupkan ke dalam liang memekku, lalu digerak - gerakkan seperti penis yang sedang mengentot.

Begitu gencarnya Ivan menjilati memekku, juga menjilati kelentitku disertai dengan sedotan - sedotan kuat, sehingga kelentitku terasa jadi “mancung”. Ini membuatku tak kuat menahannya lagi. Aku memekik lirih, “Ivaaaan… “sambil mengejang tegang. Dan… liang memekku terasa mengejut - ngejut kencang di puncak orgasmeku.

Sedetik kemudian Ivan pun memegang penisnya yang diarahkan ke kakiku. Lalu… air maninya berhamburan ke telapak kakiku. Crooot… crotttt… croootttttt… croooooottttt… crooootttt… crooootttttttt…!

Ivan pun terkapar, tengkurap lemas di sisiku. Dan aku cepat mengambil kertas tissue basah dari dalam tas kecilku, untuk menyeka telapak kakiku yang berlepotan air mani Ivan.

Sebenarnya aku merasa kasihan dengan apa yang Ivan lakukan barusan. Seharusnya air mani Ivan dimuntahkan di dalam liang memekku. Tapi begitu patuhnya ia padaku, sehingga ia tidak berani melanggar laranganku. Tidak berani menyentuhkan penisnya ke memekku.

“Biasanya kalau ngocok, kuat berapa kali sehari?” tanyaku sambil menepuk pantat Ivan yang sedang telungkup.

“Hehehe… itu sih rahasia perusahaan Pam.”

“Aku sih cuma mau tau power kamu aja.”

“Ngocok sih gak perlu sering - sering. Kalau keseringan bisa gila nanti.”

“Daripada main sama pelacur mendingan ngocok lah. Lebih aman dari penyakit kotor. Belum lagi resiko ketularan HIV, herpes, hepatitis dan sebagainya.”

“Gak pernah nyentuh perempuan gituan.”

“Sekarang kalau disuruh ngentot mamaku masih kuat?” tanyaku ketika Ivan sudah duduk dalam keadaan masih telanjang bulat.

“Masih kuat. Emangnya mau ditugaskan ke sana?”

“Nanti aja. Setelah kamu pulih tenaganya,” sahutku sambil memegang penis Ivan yang masih terkulaki lemas, “Memek mamaku enak gak?”

“Sangat enak. Sudah punya anak tapi masih mrepet rapet.”

“Iya sih. Mamaku sudah tiga kali melahirkan, tapi pandai merawat diri.”

“Tiga kali melahirkan? Bukannya Pampam ini anak tunggal?”

“Aku punya dua orang adik cowok. Kukun dan Ajie. Tapi sejak mereka berumur tujuhbelas dan delapanbelas sudah pada kerja di kapal. Makanya lama gak pulang - pulang. Waktu aku kwin sama Pak Mathias juga, mereka gak bisa hadir.”

“Adik - adik Pampam kerja di kapal pesiar?”

“Bukan. Mereka kerja di kapal barang, bolak - balik dari Eropa ke Afrika. Kadang kapalnya bawa lokomotif, kadang bawa mesin. Pokoknya mereka kerja di kapal pengangkut barang - barang berat.”

“Biasanya kalau kerja di kapal, sembilan bulan di laut, tiga bulan di darat.”

“Bisa lebih lama lagi. Buktinya sekarang… sudah dua tahun mereka gak pulang - pulang.”

“Gak apa - apa. Yang penting sekalinya pulang bawa duit banyak.”

“Kalau mereka pulang, aku mau rekrut untuk bekerja di perusahaanku.”

“Perusahaan Big Boss memang besar sekali.”

“Itu perusahaan suamiku. Nanti beda lagi perusahaan suamiku dan perusahaanku sendiri.”

“Wow… Pampam mau buka perusahaan sendiri?”

“Iya. Berkat dukungan suamiku juga sih. Sekarang surat badan hukumnya belum terbit. Kalau sudah terbit, nanti kamu juga akan kuaktifkan di perusahaanku. Haaaiiii… kontolmu sudah keras lagi Van.”

“Iya… abis… dipegang - pegang sama Pampam terus… jadi bangun lagi deh… hehehee…”

“Nanti spermanya lepasin di memek mamaku aja ya.”

“Ya… ikut perintah Bu Boss aja…”

Aku tercenung sesaat. Lalu… entah kenapa aku jadi ingin… ingin sekali merasakan nikmatnya dientot oleh penis sepanjang dan segede punya Ivan itu.

Karena itu kudorong dada Ivan sehingga teman lamaku itu celentang. Dan sambil berjongkok dengan kemaluan berada di atas penis ngaceng Ivan, aku berkata, “Mau nyobain kontolmu sebentar aja ya…”

“Iya,” sahut Ivan dengan sorot bingung.

Sambil memegang penis Ivan, kuturunkan badanku, sehingga penis Ivan menyruak masuk ke dalam liang memekku. “Van… ooooh… kontolmu memang gede banget Van… “rintihku pada saat penis Ivan baru masuk kurang dari setengahnya.

Lalu kunaikkan lagi memekku, sehingga penis Ivan terlepas dari memekku. “Hihihihiii… takut tembus ke jantung… karena selain gede, panjang sekali sih.”

Lalu aku menelentang sambil mengusap - usap memekku. “kamu gak pengen nyobain ngentot memekku Van?” tanyaku dengan senyum menggoda.

“Pengen sih pengen. Tapi kan Pampam melarang masukin kontolku ke memek Pampam.”

“Kamu bisa merahasiakannya kalau kuijinkan ngentot memekku?”

“Siap. Sangat bisa merahasiakannya.”

“Termasuk mamaku juga jangan sampai tau.”

“Siap Pam.”

“Ya udah… masukin deh kontolmu. Soalnya aku juga jadi horny berat nih. Tapi memekku jangan dijilatin lagi, masih basah sekali. Langsung masukin aja kontolmu…”

“Iya Pam… iyaaa…” sahut Ivan terdengar gugup. mungkin karena ia tidak menduga kalau aku akan ngasih ijin untuk mengentotku. Soalnya sudah kepalangan basah sih.

Ivan berlutut sambil mengarahkan moncong penisnya ke mulut vaginaku yang sudah agak ternganga ini, karena aku merentangkan pahaku selebar mungkin. Sebagai tanda “welcome” buat kehadiran penis Ivan di dalam liang memekku.

Dan… penis Ivan mulai menerobos liang memekku yang masih basah akibat orgasmeku tadi. Memang seret masuknya, saking gedenya penis teman lamaku itu. Tapi setelah penis panjang gede itu masuk setengahnya, Ivan mulai memaju mundurkan penisnya perlahan - lahan dan pendek - pendek jaraknya.

Namun beberapa detik kemudian, liang memekku sudah beradaptasi dengan ukuran penis Ivan yang dahsyat itu.

Ooooh… edan…! Gesekan demi gesekan penis Ivan di liang memekku, luar biasa enaknya…!

Aku pun mulai melontarkan rintihan yang tidak mempedulikan lagi siapa Ivan dan siapa diriku sekarang, “Dudududuuuuuh… Ivaaaan… aaaaaa… aaaaah… kontolmu ini… luar biasa enaknya Vaaaaan… aaaaah… gede bangeeeeet… pa… panjang bangetttt Ivaaaaan… ayo entotin terus Vaaaan…

Entoooot teruuuuussss… edaaaaan… edaaaaan… luar biasa enaknyaaaaaaa Vaaaan… aaaaaah… entot teruuuuusssss… iyaaaa… iyaaaa… entooooooootttt… entooooooottttttttt… enak Vaaaaaaannnnnnnnn… entotttt… entoooooottttt terussssssss …

Ivan pun masih sempat menyahut terengah, “Me… memek Pampam juga… eeee… enak sekaliiiiii… uuuuuugghh… uuuuuughhhhhh… ‘

Seperti waktu disetubuhi oleh Walter, kali ini pun aku memiliki keinginan yang sama. Bahwa aku ingin terasa sangat memuaskan bagi Ivan. Sehingga ketika Ivan mulai berani mencium bibirku, dengan sepenuh gairah kusambut ciumannyha itu dengan lumatan yang sangat bergairah.

Pada saat itu pula aku mulai menggoyang pinggulku dengan goyangan yang seolah membentuk angka 8. Memutar - mutar dan meliuk - liuk. Terkadang juga kuhempaskan pantatku ke kasur, sehingga dengan sendirinya kelentitku bergesekan dengan penis Ivan.

Aku ingin jadi perempuan yang memuaskan Ivan, sekaligus memuaskan diriku sendiri. Bahwa dengan goyangan ini liang memekku seolah membesot - besot dan meremas - remas penis Ivan, yang dengan sendirinya menimbulkan kenikmatan bagi Ivan mau pun bagi diriku sendiri. Bahwa gesekan antara penis Ivan dengan dinding liang memekku semakin kencang rasanya.

Lalu aku tidak peduli lagi bahwa Ivan itu sudah menjadi anak buahku, yang harfus selalu menghormatiku… ya… aku sudah melupakan status itu. Ivan telah berubah menjadi lelaki yang benar - benar memuaskan, karena penisnya sangat gagah, kekuatannya pun bisa diandalkan.

Bahwa setelah aku mencapai orgasme lagi, penis Ivan tetap tangguh mengentot liang kewanitaanku.

Karuan saja rintihan - rintihan histerisku berlontaran begitu saja dari mulutku yang sudah lupa daratan ini. Rintihan - rintihan di luar kesadaranku, yang berlontaran begitu saja secara spontan, karena aku sudah lupa segalanya. Yang kuingat cuma satu, bahwa penis Ivan ini luar biasa nikmatnya…

“Vaaaan… oooo… oooooh… Vaaan… kontolmu ini luar biasa enaknya Vaaaaan… entot terus Vaaaan… entot teruuuusssssss… entoooooootttt… iyaaaaaa… iyaaaa… iyaaaa… aaaaaa… aaaaah Vaaaaan… ini enak sekali Vaaaan… entot teruuuusssssssss… entoooot Vaaaan…

Lalu terasa penis Ivan semakin gencar menggenjot liang kenikmatanku. Membuatku semakin merem - melek dalam indah dan nikmatnya permainan surgawi ini.

Sementara keringat Ivan mulai bercucuran, bercampur aduk dengan keringatku. Dan ketika Ivan berbisik terengah, “Pam… aku… aku sudah mau ngecrot… lepasin di luar?”

Kusahut, “Di dalam… aja. Aku juga udah… mau lepas lagi. Ayo barengin Vaaan…”

Lalu Ivan semakin gencar mengentotku, yang kusambut dengan semakin menggilanya juga goyangan pinggulku.

Lalu kami seperti sepasang manusia yang kerasukan. Ivan mencengkram sepasang bahuku kuat - kuat, aku pun menjambak dan meremas - remas rambut Ivan.

Kdetika aku tiba di puncak kenikmatanku, terasa liang memekku berkedut - kedut kencang. Pada saat yang sama, penis Ivan pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan air maninya di dalam liang sanggamaku.

Croooootttttttt… crottt… crooootttttttt… crottcrott… croooootttt… croooootttt… crooootttt…!

Ivan mengelojot, lalu terkulai di atas perutku.

Setelah Ivan mencabut penis lemasnya dari liang kemaluanku, kucubit perutnya sambil berkata, “Akhirnya kontolmu bisa ngerasain memekku juga ya?”

“Heheheee… iya… terima kasih Pam,” sahut Ivan tersipu.

“Tapi ingat… tugas utamamu adalah menggauli mamaku sesering mungkin. Karea mamaku gede nafsunya. Selain daripada itu, aku ingin agar mamaku benar - benar melupakan mantan pacarku yang geblek itu.”

“Iya Pam. Jangan takut, aku akan menggauli mama Pam sesering mungkin.”

“Kalau dibandingkan, enak mana memek mamaku dengan memekku? Ayo jawab sejujurnya.”

“Lain - lain enaknya Pam. Jadi kalau harus dibanding - bandingkan, aku harus jawab sama saja enaknya. Karena wanita setengah baya seperti mama Pam itu seolah sudah tiba di phase puber kedua. Makanya beliau berusaha untuk menciptakan kepuasan bagi lelaki yang menggaulinya.”

Begitulah… pada saat aku sedang bersama Boy di dalam hotel ini, semuanya itu masih lekat dengan ingatanku.

Bahwa sebelum Boy “dekat” denganku, aku sempat merasakan digauli oleh Walter dan Ivan. Tapi hanya satu kali. Tidak lebih.

Dan setelah aku merasakan begini dekatnya dengan Boy, aku bertekad untuk menolak lelaki mana pun yang mau menggauliku. Karena aku ingin mencurahkan perasaan sayangku buat Boy seorang (di samping Papie).

Namun beberapa hari kemudian, ketika Boy sedang kuliah, pagi - pagi sekali aku mendapat telepon dari suamiku :

“Hallo Papie… kok baru nelepon sekarang sih. sedang di mana Papie sekarang?”

“Sedang di Jerman, Sayang. Mungkin besok akan ke Swedia dan Denmark, lewat darat aja. Ohya… aku punya berita penting nih. Bobby dan Kent sedang menuju ke rumah sekarang.”

“Haaaa? Bobby yang kuliah di Kanada dan Kent yang kuliah di Amerika itu?”

“Betul. Kebetulan kuliah dan skripsi mereka sudah selesai. Bahkan sudah pada diwisuda. Selanjutnya, entah mereka akan bekerja di Amerika atau mau membantu perusahaanku di Indonesia. Entahlah. Yang jelas mereka ingin liburan dulu dan mau memotret - motret beberapa candi di pulau Jawa. Entah untuk apa mereka mau motret candi - candi bersejarah itu.

“Orang Indonesia kok harus pake guide di negaranya sendiri Pap?”

“Heheheee… mereka itu hanya hafal dua kota. Jakarta dan Bandung. Mereka belum pernah menginjak Jateng dan Jatim. Tapi kota - kota besar di luar negeri sudah banyak yang hafal, seperti Tokyo, Beijing, Shanghai, Hongkong dan beberapa kota di Benua Amerika. Makanya jadilah guide buat mereka ya Sayang.

“Kapan mereka datang ke rumah?”

“Mungkin beberapa jam lagi juga tiba di rumah. Ohya… aku sudah izinkan kalau mereka menginginkan sesuatu darimu, seperti yang Boy inginkan itu. Oke aku mau meeting dulu, yha Sayang. Take care and see you… !”

Klik, telepon ditutup. Membuatku bingung sendiri.

Apa maksud suamiku dengan kalimat*“… aku sudah izinkan kalau mereka menginginkan sesuatu darimu, seperti yang Boy inginkan itu”*… Apakah aku harus memperlakukan mereka seperti perlakuanku terhadap Boy?

Tadi aku mau menanyakan hal itu. Tapi Papie keburu menutup teleponnya. Sehingga aku tak sempat menanyakannya, apa maksud dengan “seperti yang Boy inginkan” itu?

Aaaah… entahlah.

Yang jelas, kedua anak tiriku itu tiba sejam setelah aku menerima telepon dari suamiku.

Baik Bobby mau pun Kent menjabat tanganku dengan hangat. Lalu mencium sepasang pipiku dengan hangat. Benar - benar mencium pipi, bukan sekedar merapatkan pipi mereka ke pipiku.

Dan yang jelas, mereka ganteng - ganteng. Terutama Kent yang bertubuh tinggi semampai itu. Dan aku merasa harus beradaptasi dengan mereka, agar kehadiranku di rumah yang mirip istana ini, diterima oleh semua pihak.

Setelah ngobrol beberapa saat, Bobby berkata, “Sekarang Mamie bisa temani kami makan siang di luar kan?”

“Boleh, “aku mengangguk, “Tapi mamie mau ganti baju dulu ya.”

“Iya Mam,” sahut Bobby dan Kent hampir serempak. Lalu mereka saling pandang ketika aku mau masuk ke dalam kamarku.

Aku hanya berdandan sebentar. Mengenakan gaun terusan berwarna orange, dengan motif bintik - bintik putih secara sporadis. Tanpa mengenakan make up lagi, karena aku sudah bermake up sebelum kedua anak tiriku itu datang. Lalu kuambil tas kecilku dan keluar dari kamarku.

“Sudah siap Mam?” sambut Bobby di ruang keluarga.

“Sudah,” sahutku sambil mengangguk.

Kemudian Bobby mengajakku ke teras depan dan tampak Kent sudah memanaskan mobil double cabin-nya yang berwarna military green. Aku sudah dikasih tau kalau mobil double cabin itu punya Kent, sementara punya Bobby sebuah sedan built up Eropa, yang harganya jauh lebih mahal daripada sedanku.

Aku masuk ke dalam double cabin itu, di belakang Kent. Sedangkan Bobby duduk di samping kiriku.

“Mau makan di mana kita sekarang Bob?” tanya Kent di belakang setirnya.

“Nyari yang sejuk aja udaranya. Kita kan terbiasa hidup di hawa dingin, jadi terasa panas di kampung halaman sendiri,” sahut Bob.

“Mau ke luar kota?”

“Why not. Sudah cukup lama kita tidak menikmati udara sejuk di sana.”

Aku diam saja tidak ikut bicara. Tapi aku mulai degdegan, karena lengan kiri Bobby melingkari pinggangku.

Bahkan Bobby lalu berbisik ke dekat telinga kiriku, “Mamie udah ditelepon sama Papie?”

Aku cuma mengangguk tanpa bersuara.

“Papie menugaskan kami berdua untuk mengisi kesepian Mamie, sekaligus untuk membuat Mamie happy.”

Meski Bobby menyampaikan ucapannya dalam bentuk bisikan, tampaknya Kent sudah menduga apa yang Bobby katakan di belakangnya. karena Kent berkata di belakang setirnya, “Pada dasarnya Papie takut kalau kami main - main sama perempuan nakal, yang beresiko bisa terkontaminasi penyakit kotor. Karena itu Papie hanya mengijinkan kami dengan Mamie saja.

Akhirnya Bobby juga bicara tanpa berbisik - bisik seperti tadi. “Tadinya kami tidak tertarik pada saran Papie itu. Tapi setelah melihat Mamie yang begini cantiknya, kami langsung setuju. Mamie juga tidak berkeberatan kan?”

“Gak tau masih bingung. Masa mamie harus melayani kalian berdua sekaligus?”

“Kita akan bergiliran menggauli Mamie. Bukan mau mengeroyok Mamie. Santai aja Mam… kami akan melakukannya dengan smooth, karena biar bagaimana pun Mamie ini ibu sambung kami,” kata Bobby yang dilanjutkan dengan kecupan hangatnya di pipi kiriku.

“Iya Mam, “sela Kent, “Kami bukan hanya mau melampiaskan nafsu. Kami juga akan berusaha untuk membuat Mamie happy…!”

Aku terdiam. Tapi apakah sebenarnya batinku menolak untuk menerima kehadiran mereka di dalam diriku? Tidak. Sejujurnya harus kuakui, bahwa kehadiran mereka menimbulkan fantasi tersendiri di dalam benakku. Karena aku memang sudah diijinkan oleh suamiku untuk menggauliku…

“Kalau dipikir - pikir Papie hebat juga ya,” kata Kent di belakang setirnya, “papie bisa mendapatkan istri yang usianya tidak jauh beda dengan kita… sangat cantik pula.”

“Iya,” sahut Bobby, Begitu melihat pertama kali pun aku langsung jatuh hati kepada Mamie kita ini Kent.”

“Sama, aku juga begitu,” kata Kent.

“Mamie sendiri gimana?” tanya Bobby sambil mempererat dekapannya di pinggangku, lalu merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku.

“Hihihiiii… yaaaa gimana ya? Seneng sih seneng tapi sambil bingung. Karena kalian juga tau posisi mamie kan?”

“Lupakan posisi itu Mam. Mendingan kita senang - senang aja, mumpung kami masih di Indonesia,” kata Bobby sambil memegang tangan kiriku, lalu dicuminya dengan hangat.

Tak lama kemudian, Kent membelokkan mobilnya ke pekarangan sebuah restoran yang berada di luar kota, sekitar 15 kilometer di utara kotaku.

Di dalam restoran itu, Kent duduk di sebelah kiriku, sementara Bobby duduk di sebelah kananku.

Tampak banyak juga orang bule yang sedang makan siang di restoran ini. Sementara AC restoran ini terasa sangat dingin. Mungkin untuk menyesuaikan diri dengan bule -bule yang biasa tour ke daerah sejuk ini.

Setelah makan siang bersama, mobil Kent meninggalkan restoran itu dan mengarah ke utara lagi, semakin jauh meninggalkan kotaku.

“Ini mau terus ke mana Bob?” tanyaku kepada Bobby.

“Snatai aja Mam. Pokoknya kita akan menuju tempat yang aman dan nyaman,” sahut Bobby sambil mempererat dekapan lengan kanannya, sementara tangan kirinya mulai mengelus - elus betisku. Membuatku degdegan. Tapi rasanya aku seperti tak punya tenaga untuk menepiskannya.

Bahkan ketika tangan Bobby merayap terus ke atas… kubiarkan saja. Namun tangan anak tiriku yang gagah itu menyelinap terus ke balik gaunku… merayap sampai ke pangkal pahaku. Bahkan mulai menyelinap ke balik celana dalamku. Membuat lututku semakin lemas. Dan tiada daya untuk menepiskan tangan yang mulai menggerayangi kemaluanku.

Yang bisa kulakukan hanyalah mendekap dada Bobby seerat mungkin. Dengan hasrat birahi yang semakin menagih - nagih.

Tapi ketika aku melihat ke luar, tampaknya mobil ini sudah berada di tengah hutan pinus.

“Kok masuk hutan segala Kent?” tanyaku.

“Santai aja Mam,” sahut Kent, “Hutan pinus ini punya Papie. Nanti kita akan nyantai di gubuk yang indah sekali pemandangannya. “

Mobil Kent terasa berada di jalan tanah, tidak diaspal. Dan terasa sedang menanjak dengan jalan yang berliku - liku. Sampai akhirnya berhenti di depan sebuah gubuk yang bukan sekadar gubuk. Karena tiang - tiangnya terbuat dari besi seperti yang biasa dipakai untuk tiang listrik. Atapnya pun terbuat dari genteng alumunium berwarna biru langit.

“Lihat itu Mam,” kata Bobby sambil menunjuk ke satu arah. Ke arah lembah yang banyak rumpun - rumpun bambunya, diselingi oleh pesawahan yang sedang menghijau, “Indah kan?”

Aku yang sedang berdiri di samping Bobby, spontan melingkarkan lenganku ke pinggangnya. “Iya, indah sekali,” sahutku.

“Lembah pesawahan dan rumpun - rumpun bambu itu, semuanya punya Papie,” kata Bobby lagi.

“Ohya?!” cetusku dalam kaget dan kagum. Ternyata harta Papie ada di mana - mana.

“Hutan pinus ini pun punya Papie. Luasnya sekitar limapuluh hektar,” kata Bobby lagi, “Nantinya hutan ini akan dijadikan kompleks villa yang akan mulai dibangun tahun depan. Tapi lembah pesawahan dan hutan bambu itu akan dibiarkan tetap begitu, supaya penghuni villa - villa di sini nanti kerasan menyaksikan pemandangan yang indah itu.

Aku cuma mengangguk - angguk. Sementara Kent kulihat sedang asyik mendengarkan musik deep house yang berdentum - dentum suara bassnya.

“Mamie gak keberatan kalau kita lakukan di situ?” tanya Bobby sambil menunjuk ke alas lantai gubuk yang empuk dan bertilamkan kulit sintetis itu.

“Nanti kalau ada orang lihat gimana?” aku balik bertanya, sambil mempererat dekapanku di pinggang Bobby.

“Gak mungkin ada orang ke sini Mam. Mamie gak lihat sebelum kita masuk ke hutan ini? Kan sekeliling hutan ini dipagar oleh kawat berduri. Ada tulisan Dilarang Masuk pula di pintu masuknya. “

“Ooo, begitu ya… terus Kent bagaimana?”

“Biarin aja Kent dengarin musik dulu. Dia takkan merecoki kita Mam. Nanti kalau aku sudah selesai, baru dia akan turun dari mobilnya. “

Bobby melepaskan sepatu dan kaus kakinya. Lalu menjatuhkan diri ke lantai bertilamkan kasur yang sangat lebar itu.

Aku pun melepaskan sepatuku, lalu menghempaskan diri ke dekat Bobby.

“Empuk sekali busanya ya?! Emang biasanya gubuk ini suka dipakai apa?” tanyaku.

“Dulu, waktu aku dan Kent masih di Indonesia, Papie suka ngajak makan rame - rame. Sekarang sih gak tau, apakah Papie masih suka makan di sini atau gak. Aku kan sudah lama tinggal di Kanada, Kent juga di Amerika,” sahut Bobby yang lalu merayap ke atas tubuhku. Untuk mencium bibirku dengan hangatnya.

Lalu Bobby berkata setengah berbisik, “Gaunnya lepasin aja ya Mam. Supaya gak kusut. “

“Bobby aja yang lepasin,” sahutku tetap celentang.

Kancing - kancing gaunku memang berderet di depan semua, dari bagian leher sampai ke bagian terbawahnya.

Tiba - tiba handphoneku berdering. Cepat kukeluarkan hapeku dari dalam tas kecilku. Ternyata dari Boyke…!

“Hallo Boy… !”

“Hallo Mamie… lagi di mana neh?”

“Lagi di hutan pinus, nganterin kedua abangmu. “

“Haaa?! Bang Bobby dan Bang Kent pada pulang?”

“Iya. Ada apa Boy? Tumben nelepon mamie seperti serius gitu. “

“Anu Mam… aku mau laporan… aku mau beli mobil. Mamie setuju gak?”

“Haaa?! Setuju banget. Berarti pikiranmu sudah dewasa tuh. Pakai motor terus kan besar resikonya. Mau beli mobil apa?”

“Yang sesuai dengan saldo tabunganku aja. Beli SUV juga gak apa - apa… “

“Hmmm… anak mamie udah belajar mandiri ya. “

“Iya Mam. Setelah deket sama Mamie, rasanya banyak yang harus kuperbaiki dalam hidup ini Mam. Pokoknya demi Mamie tewrcinta, aku mau melakukan apa aja. “

“Iya baguslah. Kalau duitnya kurang, jangan malu - malu, minta aja sama mamie. Nanti mamie tambahin. “

“Gak usah Mam. Duitku sudah cukup banyak kok. Kan uang jajanku dinaikkan sama Papie. Makanya daripada duitnya nganggur, mendingan dibeliin mobil. Supaya kalau sedang hujan gak kehujanan. Naik motor kan sering kehujanan, sampai kena flu terus. Makanya motorku mau dijual aja, uangnya mau digabung dengan tabunganku.

“Iya.. iyaaa. “

Bobby menatapku, “Siapa barusan? Boyke Mam?” tanyanya.

“Iya. Dia titip salam sama Bobby dan Kent katanya. Barusan dia laporan, mau beli mobil. “

“Haaa?! Boy mau beli mobil?! Hahahaaa… teraphi dari Mamie sangat manjur ya. Boy udah mau kuliah, udah mau mobil pula. Berarti dia mau setop pakai motor. “

“Iya. Dia bilang motornya mau dijual buat nambahin uang untuk beli mobil. “

“Baguslah. Dia mau belajar mandiri rupanya. “

“Iya, duit jajan dari Papie dibiarkan ngendap di rekening tabungannya. Ternyata dia punya niat ingin beli mobil sendiri, bukan minta duit lagi sama Papie. “

“Bagus itu Mam. Dan sekarang… aku mau lepasin gaun Mamie yaaa,” ucap Bobby sambil membuka kancing - kancing gaunku satu persatu. Lalu gaunku dilepaskan olehnya dan menggantungkannya di kapstok dinding gubuk modern ini. Bobby seperti mau melepaskan behaku juga, tapi aku menepiskan tangannya sambil berkata, “Bobby sendiri masih pakaian lengkap gitu.

Bobby tersenyum. Lalu menanggalkan busananya sehelai demi sehelai. Tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhnya. Lalu dengan senyum macho di bibirnya, Bobby melepaskan behaku secara hati - hati. Disertai bisikan, “Mamie memang luar biasa cantik dan seksinya. Beruntung Papie bisa mendapatkan Mamie, sehingga kami bisa mewakili Papie seperti sekarang ini.

Sebagai perempuan, tentu saja aku senang mendengar pujian dari Bobby itu.

Dan… ketika Bobby menciumi toketku, lalu mengemut pentilnya, aku pun tak mau kalah. Kuselinapkan tanganku ke balik celana dalamnya. Wow… ternyata penis Bobby tak kalah “gagah” dari penis adik bungsunya (Boyke). Sudah ngaceng berat pula.

Jujur… aku semakin dibelenggu oleh nafsu birahiku. Sehingga tanpa malu - malu lagi kupelorotkan celqana dalam Bobby. Dan kupegang penis ngacengnya ini, sambil membayangkan nikmatnya kalau penis ini sudah dibenamkan dan dientotkan di dalam liang memekku…!

Lalu, tanpa canggung - canggung lagi kujilati puncak dan leher penis anak tiriku ini. Sesaat kemudian penis Bobby bahkan kukulum dan kuselomoti dengan lahap sekali.

Sehingga Bobby pun menggeliat - geliat. Sementara penisnya jadi semakin ngaceng dan kemerah - merahan.

Tapi aku tak mau terlalu lama menyelomoti penis Bobby. Lalu menelentang dengan nafsu birahi yang sudah semakin menguasaiku.

Dan kubiarkan Bobby menarik celana dalamku sampai terlepas di kedua kakiku.

Ternyata Bobby pun langsung menyerudukkan mulutnya ke… memekku… Kemudian ia menjilati memekku dengan lahapnya. Bahkan jari tangannya pun ikut campur, menyodok - nyodok liang memekku seperti ayunan penis tengah mengentot. Aku pun menggeliat - geliat sambil menahan - nahan nafasnya. Bahkan pada suatu saat aku berkata terengah, “Sudah basah sekali Bob…

Bobby menurut saja pada perintahku. Sabil berlutut ia meletakkan puncak penisnya di mulut vaginaku. Lalu ia mendorong penisnya. Dan terasa masuk sampai leher penisnya. Kemudian ia mendorongnya lagi dengan kuat sekali… sehingga penisnya masuk lagi sampai lebih dari setengahnya.

Aku pun menarik leher Bobby ke dalam pelukanku sambil berbisik, “Mamie gak pernah menyangka kalau kamu bakal langsung menyetubuhi mamie. Padahal baru beberapa jam kamu tiba di rumah kan?”

“Aku sih udah ngebayangin sdebelum terbang ke Indonesia,” sahut Bobby, “Karena Papie paling takut kalau aku main dengan perempuan sembarangan. Makanya Papie relakan miliknya yang paling berharga ini, untuk ikut dinikmati oleh anak - anaknya… emwuaaaaahhhh… “Bobby mengakhiri kata - katanya dengan ciuman hangatnya di bibirku.

“Untung kamu ganteng Bob,” sahutku, “kalau gak ganteng, mana aku mau?!”

Bobby tersenyum sambil start… mulai mengayun penisnya bermaju - mundur di dalam jepitan liang memekku.

Tentu saja aku mulai merasakan nikmatnya disetubuhi oleh Bobby ini. Tapi kenapa aku membayangkan hal yang lebih dari ini? Kenapa aku membayangkan indahnya kalau aku bisa memegang penis Kent pada saat Bobby sedang mengentotku ini?

Ya… aku sering menyaksikan film bokep, tentang cewek yang “dikeroyok” oleh dua orang cowok. Pernah juga nonton yang ceweknya seorang sementara cowoknya tiga orang. Bahkan aku pernah juga nonton bokep yang ceweknya diantri oleh beberapa orang cowok… bahkan sampai 50 orang cowok memuntahkan air maninya di tubuh si cewek.

Hiiii… aku tak mau dikeroyok oleh cowok sebanyak itu. Aku cuma ingin merasakan yang sudah jelas hadir saja. Ingin agar Kent jangan terlena mendengarkan musik di dalam mobilnya. Aku ingin Kent cepat turun dari mobilnya, lalu bergabung bersama Bobby di dalam gubuk modern ini. Aku ingin merasakan bagaimana fantastisnya menikmati dua macam penis dalam waktu bersamaan.

Namun entotan Bobby makin lama makin gencar. Bahkan dasar liang memekku terus - terusan disundul oleh puncak penisnya.

Aku p;un mulai melontarkan rintihan - rintihan di luar kesadaranku. Berlontaran begitu saja dari mulutku. “Bobby… aaaaah… Boooob… aaaaaaa… aaaaah Boooob… entot terus Booob… jangan brenti - brenti… entot teruuuuuusssss… entoooooottttt… “

Bahkan aku lalu merasa ingin agar rintihan - rintihanku terdengar oleh Kent. Karfena itu aku sengaja merintih - rintih lebih keras lagi, agar suaraku bisa mengalahkan bunyi musik yang sedangb Kent dengarkan di dalam mobilnya, “Booob… Oooo… ooooh Booobby… Ini enak sekali Boooob… Entot terus Booob!

Tampaknya “usaha”ku mendatangkan hasil. Ketika Bobby sedang gencar - gencarnya mengentotku, ketika rintihan - rintihanku semakin lama semakin keras, bunyi musik dari mobil Kent pun hilang. Lalu terdengar bunyi pintu mobil dibuka dan ditutupkan. terdengar pula bunyi langkah Kent mendekati gubuk modern ini…

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)
To Top